Gadis Merah

Semburat cahaya kuning terpantul dalam hamparan awan, seakan menciptakan pesona ketenangan bagi sepasang mata yang melihatnya. Matahari senja yang memikat membuat gunung kalinias nampak semakin gagah. Sepasang burung camarpun sergegas beranjak dari peraduannya meninggalkan dahan-dahan pohon perdu. Lembanyung senja menjadi waktu yang istemewa bagi burung-burung cantik ini untuk bertemu dan berbagi cerita dalam hembusan kasih. Kepakan sayap merekapun mengibaskan aura cinta.
Semilir angin mengantarkan kesejukan. Menampakan keriangan yang menawan menyelami suasana hati agar menjadi tenteram. Menunjukan keindahan sang pencipta agar setiap makhluk – Nya lebih memaknai alam. Dan mulutpun berlomba merentangkan pita suara untuk berkata menakjubkan. Namun, segala keindahan, ketenagan serta ketenteraman alam. Pada sore itu tidak berhembus kepada seorang gadis yang sedang duduk di dekat jendela kamar tidurnya. Jendela kamarnya di penuhi dengan terali-terali besi yang di cat berwarna biru. Sehingga dari luar nampak seperti penjara gadis itu duduk sambil menyilangkan kedua tanggannya. Matanya terus memandang kedepan. Tatapannya kosong, menerawang entah kemana.

“Anna….Anna….kesini nak, ada yang mencarimu” panggil bu Susy
“Iya umi sebentar, Anna nanti kesana” jawab seorang gadis di balik tirai gorden biru bermotifkan bunga-bunga teratai yang besar-besar.

Di ruang tamu tampak seorang lelaki yang berkulit sawo matang, berambut ikal, hidungnya sedikit pesek dan bertubuh gempal. Usianya bisa di katakan telah cukup menemani semua peristiwa dalam hidupnya dan di ceritakan pada anak-anaknya. Lelaki itu duduk sambil terus menghisap sebuah batang keracunan yang sedap. Tiap keasyikannya menghisap, setiap itu pula asap-asap kematian asyik merogotinya. Tanpa di sadari dia telah menghabiskan satu kotak kematian. Asap rokok terus mengepul di dalam ruangan itu.

“Maaf ya pak Darman, Anna memang anaknya sedikit pemalu. Dari kecil dia tidak pernah bertemu ataupun berbincang bersama laki-laki selain Abahnya sendiri “papar bu Susy sambil terus menengok kearah dapur menghadap Anna menunjukan batang hidungnya. Bu Susy sendiri tidak merasa nyaman dengan pak Darman yang sedari tadi duduk hampir setengah jam hanya karena ingin bertemu dengan anaknya.
“oh….iya….iya …., gak apa-apa kok bu, saya bisa mengerti bagaimana perasaan neng Anna yang baru pertama kali ini bertemu dengan laki-laki. Hal lumrah yang terjadi, ha…..ha…ha….” kata pak Darman dengan tertawa lebar menunjuka serentetan gigi yang telah menguning dan rusak karena rokok.

Bu Susypun terseyum simpul, tampak jelas ia tidak suka mendengar ketawa lelaki di depannya. Bu Susy tau apa makna kedatangan pak Darman kerumahnya pada sore hari itu. Karena hampir setiap hari lelaki tua itu datang dan membicarakan hal yang sama pula. Anna yang menjadi objek utama dalam perbincangan ini tak jua kunjung datang menghampiri tamu untuknya. Sehingga uminya beranjak dari tempat duduknya seraya berkata.

“ehm…pak Darman, maaf saya permisi kebelakang, mungkin Anna sedikit repot jadi saya ingin melihat apa yang sedang di lakukan anak saya, membuat kita berdua lama menunggu “pinta bu Susy seraya berdiri dan meniggalkan pak Darman seorang diri.
“Monggo, ibu silahkan, mungkin dengan di temani ibunya, Rasa malu Anna bisa sedikit berkurang, hingga menjadi lebih mudah kita mengobrol bersama “jawab pak Darman seraya mempersilahkan bu Susy untuk menjemput anaknya.

Wanita separuh baya itupun berjalan kebelakang dengan langkah tergesa-gesa. Menyibak gorden panjang di antara dua sisi pintu yang memisahkan ruang tamu menuju ruang tengah. Tampak seorang gadis muda mengenakan pakaian berwarna pink dengan jilbab berwarna senada. Wanita muda itu berdiri bersandar tepat di sudut pintu memandangi bunga-bunga yang menghiasi halaman belakang rumahnya. Kupu-kupu berlomba-lomba mengepakan sayap warna warninya agar madu yang manis pada tiap-tiap bunga yang bermekaran. Bisa mereka hisap sepuas-puasnya. Masing-masing dari mereka sibuk memilih bunga mana yang akan di kecup sesuai selera.

“Pantas, umi panggil-panggil kau jua tak kunjung datang karena rupanya asyik dalam lamunanmu” sapa ibu tua itu sambil menaruh gelas kecil berisikan the hangat dan sepiring pisang goreng dan tempe goreng di atas mapan.
“Umi tentu sudah tau, mengapa Anna melamun” jawab Anna yang terus memandangi pertunjukan di depannya. Tampak gurat kesedihan. Kecewa dan tertekan. Tersimpan banyak perasaan yang berkecemuk di benaknya. Ibunya pun memandang dengan pandangan kasihan dan rasa bersalah tak terkira. Sebagai seorang ibu, tentu memiliki jalinan benang merah yang sangat kuat tentang keadaan ataupun perasaan putrinya.
“iya Anna, umi bisa menyelami perasaan dan pikiranmu, tapi apakah Anna tak mau menyelami pikiran dan perasaan umi? “ibu balik bertanya.
“Setiap hari, setiap menit bahkan dalam setiap hembusan nafas, Anna selalu memikirkan masalah ini umi, hati Anna perih jika bertemu dengan orang tua itu, Anna merasa bertemu dengannya seperti bertemu dengan malaikat perenggut nyawa, dan kalaupun Anna di suruh memilih diantara keduannya, Anna dengan yakin menggandeng sosok izrail dan dengan ikhlas Anna memberikan seluruh nafas Anna kepadanya agar semua masalah ini cepat berakhir “tutur Anna panjang lebar, dan butiran kecil menyembu di sudut matanya yang sayu ingin mengaliri pipi lembutnya, namun sebelum itu terjadi, dengan cepat ia sanggah butiran itu dengan telapak tangannya agar tak terjatuh membasahi hari ibu tercinta.
“Baiklah Anna, jika kau tak ingin bertemu, tak mengapa, umi takkan memaksamu, satu hal yang umi pinta, pintar-pintarlah kau mencari kata-kata, agar pak Darman tak merasa sangat kecewa denganmu “pinta bu Susy seraya membawa mapan berisi hidangaan untuk menemui pak Darman.

Anna terus memandang kedepan, hati kecilnya berkata seandainya saja dirinya menjadi kupu-kupu itu yang bebas bergerak kemanapun ia inginkan, kapanpun ia ingin terbang tak ada yang melarang.
Diruang tamu terdengar perbincangan serius antara pak Darman dan bu Susy

“ehm….pak silahkan masakannya di santap, keburu dingin tidak enak lagi “kata bu Susy mempersilahkan tamu anaknya untuk menyantap hidangan tersebut.
“iya….iya bu, tenang saja makanan ini kan dibuat oleh nak Anna, jadi sayang kalau tak di habiskan”
Balas lekaki itu.
“oya bu, kenapa nak Anna tidak ikut kesini, masih malu juga? “tanya pak Darman sambil mencomot satu pisang goreng lagi.
“itu yang saya ingin jelaskan, mengapa setiap bapak kesini, Anna selalu tak ikut menemani perbincangan kita, itu karena……karena…”
“Karena apa bu?”potong pak Darman

Raut wajah bu Susy mulai berubah tegang melihat wajah pak Darman yang juga ikut tegang mendengar penjelasan kelanjutan omongan bu Susy.

“Saya mohon beribu maaf pada bapak jika selama itu, kami sekeluarga telah bertindak menyenangkan bagi babak, serta saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang telah bapak lakukan untuk keluarga saya “jelas bu Susy
“Saya semakin tidak mengerti maksud ibu? “tanya pak Darman dengan dahi berkecut.
“ehm…anak saya Anna Deswita tidak bisa menerima pinangan anak bapak. Nak Fatur, karena Anna belum bisa menjalankan kehidupan berumah tangga. Tidak siap katanya “lanjut bu Susy sambil meremas kedua tanggannya di atas pahannya.

Dengan berdiri tegap, lelaki tua itu bangkit dari tempat duduknya, menimbulkan suara yang memekakkan telinga, bangku itu berdecit dengan nyaringnya karena gaya yang di lepaskan oleh pak Darman begitu kuatnya.

“Tidak bisa begitu bu.!!! Sudah lama saya menunggu jawaban Anna, tak taunya jawaban neraka ini yang saya dengar. Saya tidak mau tau, pokoknya Anna harus menjadi pendamping anak saya. “Jelas pak Darman dengan menunjuk – nunjuk wajah wajah ibu yang hanya bisa terdiam di tempat duduknya.
Mendengar teriakan itu, Anna tersentak dari renungannya dan berlari keluar menemui ibunya.
“Dengar Anna, sebelum abahmu meninggal, dia telah berjanji akan membayar hutang – hutangnya dengan menjaminkan dirimu.! “Kata lelaki tua itu.
“Tidak, sampai kapanpun Anna tidak ingin mempunyai suami yang gila, Anna malu om, sangat malu.! “Balas Anna dengan suara tak kalah nyaring dengan pak Darman. Sang ibu pun hanya bisa menangis tak tau harus berbuat apa.
“Aku sudah bosan Anna, berurusan dengan keluarga miskin kalian, tak pernah menguntungkan hanya membawa kesialan belaka.! “Ujar lelaki tua itu mendekati Anna.
“Anak om yang membawa kesialan karena bersumber dari om sendiri. “Balas Anna memutari meja menghindar dari pak darman.
“Lancang kau Anna, kau berjilbab tapi watakmu tak lebih dari gadis desa murahan di tepi jalan. Jika anakku tak bisa mendapatkanmu, maka tak seorangpun yang boleh menjadi suamimu “Teriak pak Darman dengan mengeluarkan sebuah golok yang selalu tersangkut di celananya.

Dengan pandangan beringas dan gerakan tubuh yang membabi buta sambil mengacungkan ujung goloknya pada Anna, dengan sigap Anna mendorong meja kedepan dan tepat mengenai kaki pak Darman, pak Darman pun kalap, tak di duga dari arah belakang, bu Susy menghantam kepala pak Darman dengan sebuah batu bata yang diambilnya dari luar rumah, pak Darman pun mengerang kesakitan dan dari arah depan Anna dengan ketakutan dan gugup mengambil golok dari tangan pak Darman dan langsung menancapkannya kejantung pak Darman dan langsung melepasnya. Darah segar mengalir dari balik jaket kulitnya sehingga tampak pekat. Tanpa di sadari, pak Darman mampu mencabut golok dari dadanya dan langsung menebas urat leher ibu tercintanya. Pupuslah sudah masalh di hati ibunya. Mereka berdua pun meninggal seketika.
Senja sore itu tampak memerah, semerah darah yang tumpah dalam rumah itu. Kini peristiwa itu berlalu 2 tahun yang lalu, namun merahnya darah hati gadis itu takkan berlalu. Sepanjang waktu dia hanya duduk di jendela, menumpukkan barang – barang yang berwarna merah, apapun itu, baik kain, pita, bungkus permen ataupun tali karet yang dipakai anak – anak bermain akan ia kejar. Sampai kapan kah ia menjadi gadis merah sehingga ada sesuatu yang mengubah kehidupannya menjadi warna – warni seperti pelangi sore yang ia tatapi.

Enter your email address:

dapatkan artikel terbaru dari kamiNews

0 komentar:

Posting Komentar